Friday, March 27, 2009

Perjalanan Filsafat ilmu

Republika, Kamis, 20 September 2007

Perjalanan Filsafat Ilmu
Oleh : Jujun S Suriasumantri

Guru Besar Filsafat Ilmu, Mantan Direktur Program Pascasarjana UNJ

Ketika menyatakan pentingnya filsafat ilmu diberikan pada semua jenjang pendidikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) III di Jakarta 15-19 September 1981, saya tidak bermaksud menyarankan satu mata pelajaran baru yang bersifat kefilsafatan. Lewat ide itu saya ingin mengajak ilmuwan untuk menjadikan filsafat ilmu sebagai payung bagi pemahaman ilmu dengan segala aspeknya. Kesimpulan kongres yang mendukung bahwa agar dipertimbangkan pemberian mata pelajaran filsafat ilmu pada semua tingkat pendidikan dengan tujuan meningkatkan moral merupakan momentum untuk perbaikan pendidikan keilmuan. Setelah lebih dari seperempat abad berlalu, ada baiknya kita menengok ke belakang untuk melihat sudah sejauh mana perjalanan kita sekarang.


Payung hakikat
Ilmu, yang kadang disebut sebagai ilmu pengetahuan atau sains, merupakan komponen terbesar yang diberikan sebagai mata pelajaran dalam semua tingkatan pendidikan di samping humaniora dan agama. Walaupun telah bertahun-tahun mempelajari ilmu, dengan puluhan disiplin dan ratusan teori ilmiah yang tercakup di dalamnya, kita jarang mempergunakan pengetahuan ilmiah sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu dianggap sebagai hapalan bukan sebagai pengetahuan yang mendeskripsikan, menjelaskan, dan memprediksikan gejala alam.


Selama proses belajar-mengajar, maupun dalam kegiatan penelitian akademik, teori tidak difungsikan secara semestinya. Penalaran yang berupa deduksi teoretik dari teori ilmiah dalam memecahkan masalah jarang sekali dikembangkan. Dalam kegiatan penelitian akademik pun fungsi teori hanya sebatas acuan dan penjelasan, bukan sebagai alat prediksi dan kontrol. Salah satu penyebabnya, ialah, bahwa dalam sistem pendidikan kita hanya diajarkan satu epistemologi yakni epistemologi penemuan pengetahuan ilmiah yang lebih berorientasi pada pengamatan dan induksi. Untuk itu disarankan diberikannya epistemologi alternatif yang lebih beorientasi pada penalaran dan prediksi, yakni epistemologi pemecahan masalah. Dalam epistemologi ini, kita mengacu pada teori-teori ilmiah yang relevan untuk mendeduksikan prediksi pemecahan masalah sebelum data dikumpulkan.

Epistemologi pemecahan masalah cocok untuk peserta didik yang sedang belajar untuk menguasai ilmu dan teknologi. Sedangkan epistemologi penemuan pengetahuan ilmiah cocok untuk ilmuwan profesional yang menerapkan keahliannya untuk memecahkan masalah. Kedua epistemologi ini dapat diberikan secara bersama-sama dalam mata pelajaran keilmuan, sebab mereka tidak saling menafikan malah justru saling melengkapi. Jika proses yang lebih dipentingkan daripada hasil, maka gunakan epistemologi pemecahan masalah. Sebaliknya, jika hasil yang lebih dipentingkan daripada proses maka gunakan epistemologi penemuan pengetahuan ilmiah.


Dalam kegiatan pendidikan, proses berpikir yang sistematis dan analitis menurut suatu prosedur tertentu adalah sangat penting. Hal ini menjadi tidak terlalu penting dalam kegiatan penelitian profesional, sebab yang akan dinilai adalah hasil penelitiannya. Untuk itu, peneliti profesional tidak terlalu terikat pada prosedur yang kaku, melainkan bolak-balik mempergunakan deduksi dan induksi sesuai kebutuhan penelitiannya.


Pendidikan kita memberikan mata pelajaran secara terkotak-kotak tanpa adanya payung yang memperjelas keterkaitan antara pengetahuan yang satu dengan pengetahuan lainnya. Dalam konteks ini, filsafat ilmu memperjelas eksistensi ilmu yang membutuhkan pengetahuan lain sebagai sarana berpikir dan sarana komunikasi keilmuannya. Sarana ini antara lain bahasa, logika, matematika, statistika, dan teknik analisis data lainnya. Dewasa ini terdapat pandangan yang sempit bahwa kegiatan keilmuan hanya berkutat sekitar matematika dan statistika. Fungsi bahasa dan logika verbal menjadi terpinggirkan, seakan-akan jauh dari kegiatan keilmuan. Kesadaran akan adanya keterkaitan ini diharapkan menumbuhkan aspek afektif terhadap pengetahuan yang dipelajari. Peranan bahasa harus lebih ditonjolkan agar tradisi menulis yang baik dan nalar dapat terbentuk.


Kemampuan berbahasa ini harus menjadi persyaratan mutlak, di samping persyaratan-persyaratan lain, sebab kegiatan penalaran tanpa ditopang kemampuan berbahasa yang baik takkan berkembang secara optimal. Ilmu mengungkapkan kebenaran. Agama dan moral mengajarkan kebaikan, dan seni memancarkan keindahan. Namun, semua pengetahuan ini tidak secara langsung mendatangkan kearifan. Kearifan tumbuh dari kesadaran akan keterbatasan, baik itu keterbatasan manusia, maupun keterbatasan pengetahuan manusia. Kesadaran ini menumbuhkan kerendahhatian bahwa segala sesuatu itu mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kita tidak bisa hidup hanya dengan kebenaran tanpa kebaikan dan keindahan.

Kebenaran ilmiah bukan satu-satunya kebenaran, bahkan, hanya merupakan kebenaran yang bersifat probabilistik dan pragmatik. Untuk itu selalu ada tempat dalam kehidupan ilmuwan untuk pengetahuan yang lain. Ilmuwan membutuhkan agama, moral, dan seni untuk melengkapi kehidupannya.

Berfilsafat bukan saja memberikan jawaban tetapi juga mengajukan pertanyaan yang tepat. Semakin dalam dan semakin luas pengetahuan kita mengenai sesuatu, maka semakin banyak pertanyaan yang timbul. Dalam upaya kita meningkatan pendidikan keilmuan dirasakan perlunya mengembangkan paradigma baru dalam berbagai hal. Umpamanya saja, telah kita singgung sebelumnya, mengembangkan paradigma yang membedakan penelitian akademik dengan penelitian profesional, dan mengembangkan paradigma epistemologi pemecahan masalah di samping penemuan pengetahuan ilmiah. Demikian juga perlu dipikirkan pengembangan paradigma lain yang berkaitan dengan peningkatan kegiatan pendidikan dan keilmuan.


Memanfaatkan filsafat ilmu sebagai titik tolak membuat kita bisa menjelajah berbagai filsafat pengetahuan lainnya seperti filsafat bahasa, filsafat logika, filsafat matematika, filsafat statistika, filsafat agama, filsafat seni, dan filsafat moral. Filsafat di sini merupakan pengetahuan tentang hakikat. Substansi hakikat adalah paradigma dasar dari pengetahuan. Paradigma diartikan sebagai konsep yang dianut dan diamalkan oleh komunitas tertentu pada satu periode tertentu.


Konsep yang dianut
Meskipun kelihatannya materi yang dicakup sangat luas, pada kenyataannya tidak demikian, sebab kita tidak terlalu mempermasalahkan konsep perseorangan atau aliran yang mengerucut menjadi paradigma, namun langsung membidik paradigma itu sendiri. Kita tidak melakukan pendekatan historis terhadap paradigma, yang sesuai dengan definisi kita. Kita membatasi penjelajahan kita hanya terhadap konsep yang dianut dan diamalkan pada waktu sekarang. Itu pun terbatas pada konsep yang bersifat umum yang dianut sebagian besar anggota komunitas.


Jika pun kita menyinggung nama perseorangan atau aliran, maka semua itu hanya referensi atau titik tolak. Proposisi bahwa fungsi ilmu adalah mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksikan dan mengontrol tidak perlu dikaitkan dengan aliran-aliran filsafat tertentu. Epistemologi keilmuan juga sebenarnya banyak sekali, namun sebagai landasan dasar kita mulai dari konsep yang bersifat umum.


Materi yang diberikan tidak ditujukan untuk menjadikan seseorang menjadi ahli filsafat. Filsafat ilmu diberikan sebagai pengetahuan bagi orang awam yang ingin mendalami hakikat ilmu. Atau lebih terarah lagi, bagi ilmuwan yang ingin mendalami hakikat ilmu dengan segala seluk beluknya serta keterkaitannya dengan berbagai pengetahuan lainnya. Bila John J Kemeny (1958) menulis buku A Philosopher Looks at Science, maka pendekatan di sini mungkin lebih tepat sebagai a scientist looks at philosophy. Keduanya merupakan upaya ilmuwan, untuk lebih mengenal pengetahuan yang menjadi keahliannya secara filosofis.


Saya tidak berpretensi untuk mengatakan bahwa semua orang mempunyai persepsi yang sama tentang substansi filsafat ilmu. Terdapat berbagai pandangan bagaimana cara mata pelajaran filsafat ilmu itu diberikan. Bagi saya berbagai pandangan itu merupakan berkah dalam menjawab kebutuhan yang berbeda-beda. Bahkan, pada pendekatan yang disarankan di sini pun terdapat variasi dalam substansi dan penekanan. Sudah lebih dari seperempat abad berlalu sejak Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) III menyimpulkan perlunya filsafat ilmu diberikan dalam sistem pendidikan kita, dan sekarang bila kita membuka internet, menurut pendataan google terdapat 256 ribu situs mengenai filsafat ilmu. Saya kira hal ini perlu kita syukuri.


Ikhtisar
- Ilmu dengan ribuan teori ilmiah yang diajarkan di lembaga pendidikan, jarang dijadikan acuan dalam kehidupan sehari-hari.
- Lembaga pendidikan kita memberikan pelajaran secara terkotak-kotak dan tidak menggambarkan kaitan antara ilmu yang satu dengan yang lain.
- Filsafat ilmu bisa menjadi pengetahuan bagi kalangan awam untuk memahami hakikat berbagai ilmu.


Republika Online : http://www.republika.co.id
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=307657&kat_id=16



Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.com.

No comments: